Selasa, 04 Mei 2010

Arasy


Pengertian Istilah “Arasy” dalam Alqur’an





inna rabbakumu allaahu alladzii khalaqa alssamaawaati waal-ardha fii sittati ayyaamin tsumma istawaa 'alaa al'arsyi yughsyii allayla alnnahaara yathlubuhu hatsiitsan waalsysyamsa waalqamara waalnnujuuma musakhkharaatin bi-amrihi alaa lahu alkhalqu waal-amru tabaaraka allaahu rabbu al'aalamiina

Arti secara harfiah
[7:54] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia “Istawa” di atas “Arasy”
- Qs. 7 al-A'raf : 54
Sementara Lafadz Istiwa dan arasy tersebut dalam terjemahan di atas tidak diterjemahkan dulu untuk kita mencoba menterjemahkannya nanti setelah melakukan pendekatan bahasa dan ditimbang dengan penjelasan-penjelasan ayat lain yang berkenaan dengan istilah itu. Mudah-mudahan ini akan mewakili sudut pandang Alqur’an itu sendiri yang objektif ilmiah tentang makna dari Istawa dan Arasy tersebut di atas.
Sudah terjadi perbedaan sudut pandang antara ulama tradisional dengan ulama kontemporer dalam menafsirkan istilah “Istawa” dan “Arasy” ini. Yang mana para ulama tradisional lebih cenderung memahami Istawa dan Arasy ini sebagai Bersemayamnya Allah diatas suatu singgasana Allah dimana dari singgasana-Nya inilah Allah mengendalikan kekuasaan-Nya atas semua makhlukNya, namun para ulama tersebut juga dalam hal ini lebih memilih untuk tidak melakukan pembahasan lebih lanjut dan cukup hanya dengan keimanan saja dan merupakan sesuatu yang tabu sehingga itu menjadi rahasia ALLAH.
Sedangkan ulama lain yang lebih maju dan modern menolak penafsiran lafadz “Istiwa” dan “Arasy” itu bersemayam di atas Arasy seperti yang telah disebutkan di atas karena pendapat mereka ALLAH SWT itu adalah Khaliq (Pencipta) tidak membutuhkan tempat, ruang dan waktu. Jika dikatakan bahwa ALLAH bersemayam diatas 'Arsy maka seolah-olah ALLAH memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat tinggal dan tempat bernaung, padahal ALLAH Maha Suci dan Maha Mulia dari semua itu !
Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya
Untuk ini mari kita melakukan pemaknaan Istawa dan arasy ini dari sudut bahasa, diawali dari pembentukan katanya lalu menginjak kepada pembahasan teori pembentukan kalimatnya dan didukung oleh ayat-ayat lain yang terkait masalah tersebut, baru terakhir kita bisa mengambil pengertian dan makna yang mendekati objektif (Haq) dari ayat tersebut di atas.
Pertama yang akan kita bahas adalah kata Istawa Fi’il Madhi (kata kerja bentuk lampau, telah, sudah) dengan dhomir (Kata Pengganti Nama Subjek) Huwa (DIA) dengan demikian untuk kata ini maknanya menjadi Dia telah melakukan “Istawa”, Kata Istawa ini ini berasal dari kata سؤئ sawaa atau sawaya (tsulatsi Mujarrad) kata yang terdiri dari tiga huruf Aseli, Sin Wawu dan Ya; arti kata tersebut menurut kamus bahasa Arab adalah : Sama, serupa, seimbang; Perlu diketahui bahwa kata Sawa tersebut termasuk kategori kata “Lazim” atau intransitive, kata yang tidak memerlukan objek; Untuk bisa menjadi kata yang memerlukan objek atau transitif maka harus melalui proses pemindahan pola atau wazan, istilah pesantrennya yaitu dita’diyahkan dari tiga huruf Pokok (Tsulatsi mujarrad) menjadi Tiga Huruf Pokok Plus (Tsulatsi Mazied), kata Sawa tersebut mendapat tambahan dua huruf yaitu Alif di awalnya dan huruf Ta setelah huruf Sin sehingga yang tadinya kata سؤئ sawaa, pada pola/wazan Ifta’ala, menjadi إستؤئIstawa
Perpindahan pola dari Tsulatsi Mujarrad menjadi Tsulatsi Mazied di dalam tatabahasa Arab dan atau Alqur’an ini salahsatunya adalah perubahan makna dari Kata Intransitif menjadi kata yang bermakna Transitif, untuk kata sawa yang mempunyai arti sama, serupa. seimbang maka setelah menjadi Kata Kerja Telah Istawa (Fi’il Madhi) dengan dhomir Huwa (DIA) artinya sebagai berikut : ‘Dia Telah Memberi keseimbangan’.
Selain merubah dari Intransitif menjadi transitif, ada juga yang merupakan kebutuhan untuk makna lain seperti menjadi bermakna saling (lil Musyarakah), meminta ampun (Liththolab) dlsb.
Contohnya : Kata قتل qatala (tsulatsie Mujarrad) yang mempunyai arti membunuh dipindah pola menjadi tambah Alif setelah huruf Qaf wazannya adalah Faa’ala menjadi قاتل Qaatala, sehingga maknanya pun berubah menjadi Perang, perang adalah istilah lain dari kata saling membunuh; dengan demikian salah satu perubahan dari tsulatsie mujarrad menjadi tsulatsi mazied atas pola Faa’ala diantaranya adalah memberikan tambahan arti Saling pada kata tersebut.
Contoh kedua : Kata غفر (tsulatsie Mujarrad) yang mempunyai arti robah, ampun dlsb. Dirubah dengan menambah tiga huruf tambahan yakni Alif Sin dan Ta di awalnya Wazannya Istaf’ala menjadi kata إستغفر sehingga makna baru dari kata tersebut adalah menjadi Meminta perubahan atau Meminta ampun, memohon perubahan; sehingga kita bisa mengambil kesimpulan bahwa perubahannya adalah karena makna yang dibutuhkan adalah menyisipkan kata Meminta atau memohon atas kata tersebut.
Selain itu kita juga sudah sangat mengenal sekali dengan istilah Khatulistiwa yang merupakan garis tengah bumi. Kata tersebut itu berasal dari Bahasa Arab dan terdiri dari dua kata yakni Khat yang berarti garis dan al-Istiwa yang artinya tengah-tengah, keseimbangan (bukan persemayaman hehe). maka Khatulistiwa ialah garis tengah bumi yang melintang pada bola dunia dan merupakan sebuah kawasan/area yang membelah bumi menjadi pemisah antara kutub utara dan kutub Selatan yang merupakan sesuatu yang memberi keseimbangan bumi dari pengaruh dua Kutub.
Kembali kepada pembahasan kita, setelah kita melakukan pendekatan dari sudut bahasa terutama pada teori pembentukan-kata tidak lagi kita bisa menterjemahkan “Istawa” tersebut dengan bersemayam, karena terjemahan itu tidak representative lagi bahkan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga timbul pertanyaan lagi, bagaimana bisa kata Istawa diartikan bersemayam, dan lebih tidak masuk akal lagi ketika kata bersemayam itu di tujukan kepada Allah yang notabene Maha Suci, Maha besar, maha segalanya. Tapi itulah kenyataan yang ada, biarlah mereka-mereka atau beliau-beliau atau para cendekia yang akan mempertanggung jawabkannya dihadapanNYA.
Setelah istilah Istawa kita coba urai, kita akan menginjak kepada pembahasan istilah Arsy atau Arasy yang terdapat dalam ayat tersebut dan merupakan gandengan kata Istawa itu sendiri. Untuk pembahasan kata Arsyun ini tidak begitu rumit dibanding ketika menjelaskan pembentukan kata Istawa.
Arsyun atau Arsy. Seperti pada umumnya semua kata dalam bahasa Arab itu dibentuk dari tiga huruf pokok yakni Ain, Ra dan Syin عرش menjadi kata Arasya Fi’il Madhi (kata kerja telah) yang artinya DIA telah membangun, mencipta atau membuat, sedangkan kata Arsyun adalah merupakan Mashdar (Kata benda) dari kata kerja arasya tersebut, Kalau arasya diterjemahkan membangun maka kata benda dari kata membangun adalah bangunan.
Sehingga kata Arsyun secara harfiyah adalah bangunan. Dalam teori kalimat kata benda dibedakan dalam dua bentuk sifatnya ; pertama yang sifatnya masih Umum Bentuknya Lazim (Indefinite Article) dan kedua adalah yang bentuk sifatnya sudah khusus, tertentu, ditunjuk, bentuknya Ma’rifat (Definite Article). Adapun tandanya jika kata tersebut ber harakat tanwin itu sudah dipastikan bahwa kata tersbut itu adalah sifatnya masih umum Indefinite Article, sedangkan yang khusus tandanya adalah pada kata tersebut didahului oleh أل Alif Lam. Yang tadinya Arsyun ditambah huruf Alif dan Lam didepannya sehingga berbunyi ألعرش Al-‘Arsyu otomatis Artinya menjadi definitive ”Bangunan itu” atau ma’rifat, sudah menunjuk suatu bangunan tertentu (yang ditunjuk).
Sekarang kita mencoba menggabungkan antara kata Istawa dengan kata Arsyun, disisipi olek salah satu jenis bentuk kata sandang حرف جر Harf Jar yakni على ‘Ala yang artinya atas, pada atau diatas, tiga kata tersebut menjadi sepotong anak kalimat “Istawa Ala Al-Arsyi” untuk ini kita mencoba terjemahkan dengan metode pendekatan bahasa seperti sudah kita bicarakan di atas; menjadi artinya sebagai berikut “DIA Allah SWT telah memberi keseimbangan atas Bangunan itu.”
Coba kita sisipkan terjemahan ini kepada rangkaian terjemahan yang sudah ada :
[7:54] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu “DIA Allah SWT telah memberi keseimbangan atas Bangunan itu (langit dan bumi). Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Coba bandingkan dengan terjemahan yang sudah umum, “DIA Allah SWT telah Bersemayam di Arsy.”
Lebih objektif mana, lebih representative mana, lebih masuk akal yang mana?

Shadaqallaahul adhiem